WILAYAH Aceh perlahan mengÂgeliat. BangunanÂbangunan yang dulu lumat oleh  tsunami sudah dibangun kemÂbali. Pemerintah bersama lembaÂga nonpemerintah  juga telah mengatur peruntukan lahan masyarakat yang dulu hilang terÂsapu  ombak.
Mencapai semua itu bukan perkara gampang. Badan ReÂkonstruksi dan  Rehabilitasi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (BRR NAD-Nias), lembaga yang  ditugasi membangun kemÂbali wilayah itu membutuhkan informasi geospasial,  tentang posisi dan lokasi di bumi. "IbaÂratnya kita menyusun kembali puzzle  yang terserak," kata Kepala Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang BaÂdan  Koordinasi Survei dan PeÂmetaan Nasional (Bakosurtanal), Poentodewo, kepada  Jurnal NaÂsional, Selasa (12/6) lalu.
Poentodewo mengisahkan, data  spasial di Aceh membingÂungkan pihak internasional dan organisasi nonpemerintah  yang terlibat dalam proses rekonstrukÂsi. Peta topografi Provinsi NAD yang  konsisten berskala 1:50000, yang dipetakan pada pertengahÂan 1980-an. Data  topografi itu diperoleh dengan cara lama beruÂpa teknologi sensor pasif atau  dikenal dengan areal fotografi. Kelemahannya adalah optiknya tidak bisa tembus  awan dan tidak bisa beroperasi pada malam hari.
Bakosurtanal, sebagai  instansi penyedia peta topografi, bekerja sama dengan sejumlah negara lantas  membuat citra dan peta topografi digital terbaru. Mereka memanfaatkan teknologi  InterfeÂrometric Synthetic Aperture RaÂdar (IFSAR) untuk membuat peta Aceh.  Sesuai namanya, IFSAR merupakan teknologi terbaru dalam dunia pemetaan dengan  mengandalkan sensor radar.
Teknologi IFSAR menghasilÂkan dua produk  inti, yaitu ORI (Orthorectified Radar Imagery) dengan resolusi 1,25 meter dan  data DEM (Digital Elevation MoÂdel) dengan resolusi lima meter. Produk-produk  lainnya adalah seperti peta dasar skala 1:5.000 - 1:10.000 yang bisa dihasilkan  dengan mudah dari produk inti.
ORI dan DEM dapat diolah leÂbih lanjut  guna menghasilkan beberapa produk, seperti inforÂmasi geografis, visualisasi  3D. Selain itu juga dilakukan evaluÂasi potensi sumber daya alam di daerah,  peta batimetri dan poÂtensi kelautan, studi pembanguÂnan regional, evaluasi  pasang suÂrut air laut, peta batas adminisÂtrasi, dan pemantauan manajeÂmen  proyek.
Nilai lebih teknologi ini kareÂna memiliki sensor aktif yang  mampu menembus awan, asap dan kabut, serta kemampuan melakukan akuisisi data  pada malam hari.
Proyek pemetaan mencakup wilayah seluas 14.832 kilometer  persegi, di antaranya, pesisir baÂrat di Kabupaten Aceh Barat, NaÂgan Raya,  Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Tapanuli Tengah, Kota Sibolga,  pantai timur di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang, Kota Langsa, sebagian Aceh  Besar, Pulau We, Pulau Simeuleue, dan Pulau Nias.
Setelah Aceh,  penggunaan teknologi IFSAR kemudian meluas ke daerah lain. Pada 2004 lalu,  Bakosurtanal meluncurkan program NEXTMap Indonesia (NMI). Pada NMI tahap  pertama, telah diselesaikan pengambilan data dan pernrosesan areal seluas 24  juta hektare di Sulawesi, sebagian Kalimantan Timur, Maluku dan Nusa Tenggara  Timur. Pada tahap kedua, telah diselesaikan pengambilan data untuk wilayah Bali,  Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Total luas wilayah yang dipetakan  sudah 46 juta hektare.
Mengutip Tono Saksono, pakar pemetaan dari Ikatan  Surveyor Indonesia, NEXTMap Indonesia menandai revolusi dalam sejarah pemetaan  dasar di Indonesia. Jika teknologi konvensional ini memerlukan waktu 10 tahun  untuk memetakan 19 juta hektare di Pulau Sulawesi pada skala 1:50.000, IFSAR  hanya butuh waktu sekitar delapan bulan untuk memproduksi ORI dan DEM yang  sangat akurat untuk produksi peta topografi skala 1:20.000.
Masih Mahal
Teknologi pemetaan dengan  sensor radar sebetulnya sudah lama dipakai di Indonesia. Bahkan, Bakosurtanal  mencatat Indonesia adalah negara pertama di Asia yang memanfaatkan teknologi ini  untuk pemetaan. Namun, karena harganya masih mahal, tak banyak pemerintah daerah  mau memakai sensor radar.
Menurut Poentodewo, harga pemetaan tergantung  pada luas wilayah dan skala peta. Sementara teknologi IFSAR baru melayani  pemetaan wilayah dengan luas minimum 30.000 hektare. Harga per hektare mencapai  US untuk satu lembar foto pemetaan dengan skala 1 : 25.000.
Sedangkan  verivikasi foto, editing, sampai verifikasi, biaya yang dihabiskan minimal Rp  160 juta untuk satu peta
Manfaat Teknologi Sensor Radar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 Post 

0 komentar:
Posting Komentar